Galeri Investasi Bursa Efek Indonesia (GI BEI) menilai fenomena "sell in May and go away" dapat dimanfaatkan oleh investor untuk mendapatkan peluang keuntungan dalam berinvestasi di Pasar Modal Indonesia. Investor dapat memilih saham-saham berfundamental baik dan memiliki prospek pertumbuhan dalam jangka panjang.
Fenomena "sell in May and go away" berasal dari bursa saham Amerika Serikat (AS) ketika investor cenderung menjual saham di awal Mei dan membeli kembali pada awal November. Fenomena ini mencuat karena kepercayaan bahwa secara historis performa saham pada periode Mei hingga Oktober akan lebih rendah jika dibandingkan saat periode November sampai April.
Tim Riset BEI mencatat secara historikal sejak 2014 hingga tahun lalu, dari total 10 periode, ada 3 kali periode pada periode Mei hingga Oktober tercatat performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan. Sedangkan 7 tahun periode lainnya justru mengalami kenaikan. Di sepanjang Mei tahun ini, IHSG tercatat turun 2,01 persen menjadi 7.088,79 poin pada penutupan perdagangan 8 Mei 2024 dari posisi 7.234,20 poin per 30 April 2024.
Rano Wijaya, Dosen Pembina GI BEI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat menilai fenomena "sell in May and go away" lazimnya terjadi di bursa saham Amerika Serikat (AS). "Investor di sana biasanya cenderung mengamati (wait and see) sambil mencermati data-data ekonomi, salah satunya kebijakan suku bunga Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed)," ujar Rano, Selasa (14/5).
Fenomena ini menurut Rano tidak berlaku di BEI. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama periode "sell in May and go away" yang berlangsung dari Mei hingga Oktober ternyata mengalami penguatan 2,41 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode November hingga April sebesar 2,11 persen.
Lemiyana, Dosen Pembina GI BEI Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang mengatakan dalam 10 tahun terakhir, periode Mei hingga Oktober cenderung memiliki pertumbuhan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan periode November sampai April. Faktor musiman atau tren pasar yang terjadi pada setiap periodenya menjadi pengaruhnya, seperti pandemi Covid 19 yang terjadi dari 2019 hingga 2021, serta pengaruh dari kenaikan harga komoditas global khususnya minyak, akibat konflik yang terjadi di timur tengah saat ini.
Fenomena "sell in May and go away" jika dikaitkan dengan siklus musiman yang terjadi di global, lanjut Lemiyana, tidak sesuai dengan siklus musim di Indonesia yang tidak memiliki dikotomi musim panas dan dingin, sehingga tidak terlalu berdampak secara signfikan terhadap pergerakan saham dan perilaku investasi investor. "Di tengah ketidakpastian kondisi saat ini sebaiknya investor tetap fokus pada saham yang memiliki daya tahan krisis yang baik, serta memiliki perencanaan yang matang dalam berinvestasi secara jangka panjang," kata Lemiyana, Kamis (16/5).
Beli Bertahap
Ardo R. Dwitanto, Dosen Pembina GI BEI IPMI International Business School mengatakan fenonema "sell in May and go away" sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan di kalangan investor, khususnya pemula jika melihat pola penurunan harga-harga saham di bulan Mei. Terlebih lagi jika melihat tren IHSG yang telah turun -1,05 persen secara tahunan (year to date).
Menurut Ardo, penurunan IHSG berdasarkan imbal hasil tahunan tersebut lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, ekspektasi inflasi di Indonesia yang meningkat yang terlihat dari tren depresiasi mata uang Rupiah yang sempet melampaui Rp16 ribu per Dolar AS.
Kedua, lanjut Ardo, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang naik sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen, dikhawatirkan akan menurunkan laju pertumbuhan kredit perbankan dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. "Faktor yang ketiga meskipun Pemilihan Umum telah selesai namun kekhawatiran akan ketidakstabilan politik masih terjadi, khususnya jelang dilakukannya Pemilihan Kepala Daerah secara serentak," ujar Ardo, Kamis (17/5).
Sedangkan faktor yang keempat, tambah Ardo, antisipasi pasar akan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia itu masih ada yang diakibatkan dari penurunan konsumsi masyarakat karena laju inflasi yang meningkat. Terlepas dari faktor-faktor penyebab pelemahan IHSG tersebut, Ardo menyarankan kepada investor untuk tetap berhati-hati dan cermat dalam menangkap peluang investasi di tengah ketidakpastian saat ini.
"Penurunan harga-harga saham selalu memberikan kesempatan kepada investor untuk membeli secara bertahap saham-saham berfundamental baik yang bervaluasi murah," kata Ardo. (RAP)