Ketegangan di Timur Tengah semakin memanas setelah Iran melancarkan serangan besar-besaran kepada Israel pada 14 April 2024, dengan menggunakan lebih dari 120 rudal balistik, 170 pesawat tak berawak, dan lebih dari 30 rudal jelajah. Serangan ini merupakan balasan terhadap serangan Israel yang sebelumnya menghancurkan Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April 2024, yang mengakibatkan 16 korban jiwa, termasuk pemimpin militer Iran.
Konflik antara Israel dan Iran merupakan sebuah peristiwa black swan event yang memicu domino effect terhadap financial market khususnya dunia pasar modal. “Konflik ini, seperti deja vu, mengulangi konflik antara Rusia dan Ukraina yang terjadi tahun 2022,” ungkap Pak Fanny selaku Kepala Kantor Perwakilan BEI Jawa Tengah 1.
Beliau juga menyampaikan bahwa konflik Iran dengan Israel membuat para investor panik dan khawatir apabila konflik tersebut akan menyebabkan perang yang lebih besar lagi sehingga mereka beramai-ramai melakukan penjualan terhadap aset-aset berisiko tinggi, seperti saham dan beralih ke safe haven assets seperti emas, US dollar, US treasuries, dan lain-lain untuk sementara waktu. Safe haven asset dinilai lebih aman dan stabil oleh para investor sehingga resiko akibat volatilitas harga yang tinggi dapat diminimalisir. Hal ini sejalan dengan teori loss aversion yang mengungkapkan bahwa investor cenderung lebih sensitif terhadap kerugian dibandingkan keuntungan yang setara.
Selling pressure yang tinggi terhadap aset-aset berisiko tinggi, seperti saham pun pada akhirnya menyebabkan indeks saham di berbagai negara, termasuk S&P 500, Nasdaq, Dow Jones dan IHSG mengalami penurunan yang signifikan. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) sendiri mengalami penurunan sebesar 2,74% pada 16-19 April 2024 akibat sentimen konflik Israel dan Iran.
Ketidakpastian geopolitik yang timbul akibat konflik antara Israel dan Iran juga berdampak pada perekonomian Indonesia menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar yang sempat anjlok hingga ke level 16.200. Pelemahan nilai rupiah ini juga disebabkan oleh sentimen terkait rilis data fundamental AS, yang mana inflasi dan penjualan ritel AS tercatat berada di atas ekspektasi pasar yang mengakibatkan demand terhadap dollar juga meningkat.
Menanggapi pelemahan nilai rupiah yang berkelanjutan, pada tanggal 24 April 2024 Bank Indonesia selaku bank sentral akhirnya menerapkan kebijakan moneter kontraktif dengan menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin dari yang sebelumnya 6.00% menjadi 6.25% untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Selain itu, kebijakan ini juga diambil sebagai langkah preemptive untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen pada tahun 2024 dan 2025.
Di sisi lain, tingkat suku bunga yang meningkat tentunya akan memberikan dampak tersendiri terhadap pasar modal yang ada di Indonesia. “Jika dikaitkan dengan IHSG, tentu saja akan berakibat terhadap sektor-sektor yang sangat dipengaruhi oleh suku bunga, seperti sektor perbankan, sektor keuangan, sektor properti atau sektor-sektor lain yang berkaitan dengan pembelian kredit oleh masyarakat,” ungkap Pak Fanny.
Kenaikan suku bunga menyebabkan beberapa saham-saham perbankan yang tergolong blue chip mengalami penurunan, seperti BBRI, BBNI, BMRI, dan BBCA dengan BBRI mengalami penurunan yang paling signifikan. Penurunan harga tersebut terjadi karena adanya capital outflow atau kondisi di mana investor asing melakukan aksi jual besar-besaran terhadap saham dan obligasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi Indonesia yang ditandai dengan pelemahan nilai rupiah dan tingkat suku bunga yang tinggi. Berdasarkan data bulanan Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing telah melepas kepemilikan saham senilai Rp20,09 triliun di pasar saham RI pada April 2024.
Akan tetapi, menurut Pak Fanny, fenomena keluarnya investor asing ini sudah sering terjadi di pasar modal Indonesia dan biasanya ketika perekonomian Indonesia mulai membaik mereka akan balik lagi untuk berinvestasi di Indonesia, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang cukup fluktuatif.
Anggapan tersebut terbukti benar adanya ketika Bank Indonesia (BI) melaporkan hingga pekan ketiga Mei 2024, terdapat aliran modal asing masuk ke dalam negeri (capital inflow) sebesar Rp22,06 triliun ke pasar Surat Berharga Negara (SBN), pasar saham, serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Hal ini sejalan seiring membaiknya keadaan makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan nilai rupiah yang berangsur-angsur mulai menguat kembali.
Dapat disimpulkan, bahwa sekalipun konflik geopolitik yang terjadi antara Israel dan Iran bisa menyebabkan fluktuasi harga dan tekanan pada pasar modal, kondisi tersebut tidak selamanya berimplikasi negatif. Investor yang cerdas akan memanfaatkan momentum koreksi pasar untuk mengakumulasi aset berkualitas tinggi dengan harga yang lebih murah.
Penulis: Desmon Leanro Sirati
Narasumber: Pak Fanny Rizqi El Fuad